Hani adalah
anak yang nakal sekali. Tiada sehari tanpa kenakalannya. Pernah suatu hari, ia memberi burungnya makan ketela, sehingga tersedak dan mati.
Namun,ia
selalu bermimpi untuk menjadi anak yang baik. Didalam angan-angannya ia selalu
mematuhi ucapan orang tuanya dan bijaksana.
Kenyataannya,
setiap kali diberitahu, Hani, akan emosi terlebih dahulu dan keluarlah
kenakalannya. Teman-temannya menjauhinya karena takut dijahili.
Hani
menjadi amat sedih. Ia selalu berdoa kepada Tuhan agar dijauhkan dari segala
kenakalannya dan menjadi anak yang penurut.
Pada suatu
hari, Hani diajak oleh ayahnya jalan-jalan ke kebun teman ayahnya yang terletak
di desa. Hani sangat menyukai alam yang bebas. Ia bersyukur dapat berkunjung
kesana.
Suatu ketika, Hani ingin memetik bunga dan diketahui oleh ayahnya.
Ayahnya pun melarangnya. Hani kali ini tidak marah.
Itu terjadi
berulang kali. Saat Hani akan berbuat nakal dan dilarang oleh ayahnya, Hani
selalu menurut. Ayahnya memperhatikan
perubahan dalam diri Hani dan berusaha mengetahui penyebabnya.
Sesampai di
Surabaya, ayah Hani mengajak Hani ke psikolog tetangga rumah. Psikolog
mengatakan bahwa Hani adalah anak yang baik. Ia ingin menjadi anak yang penurut
dan bijaksana. Namun, karena emosi yang berlebihanlah yang membuatnya menjadi
anak nakal.
Psikolog
juga tahu bahwa Hani akan menjadi anak baik bila energinya disalurkan, seperti
saat di alam bebas tadi.
Sejak saat
itu, Hani pun mulai menyalurkan hobinya, yaitu mendaki gunung untuk
menetralisir emosinya. Hani pun menjadi anak baik yang disukai teman-temannya.
Pesan :
Anak nakal
belum tentu bukan anak baik. Ada kemungkinan emosi yang berlebihanlah yang
menjadi pemicunya.